KBEONLINE.ID– Pada pekan ini, tercatat pergerakan rupiah terhadap dolar AS melemah, bahkan sempat menguji level Rp16.000/US$. Rupiah yang melemah mencerminkan dampak dari kebijakan moneter AS dan kekhawatiran akan inflasi global.
Meskipun peluang penurunan suku bunga The Fed meningkat, dampaknya terhadap rupiah mungkin terbatas karena selisih suku bunga yang tidak terlalu besar.
Dilansir dari CNBC Indonesia, mata uang Garuda melemah 0,44% ke level Rp15.990/US$ pada penutupan perdagangan kemarin, Jumat (13/12). Nilai rupiah bergerak bervariasi sepanjang hari, sempat menyentuh Rp16.000/US$ dan mencapai puncaknya di Rp15.945/US$.
Baca Juga:Sinopsis Dark Nuns: Song Hye Kyo Tampil Mencekam Usir Setan!HUT Transmedia ke-23! Puncak Perayaan Spektakuler Siap Guncang Istora Senayan
Penurunan kemarin merupakan yang terparah sejak 7 Agustus 2024, ketika rupiah berada di level Rp16.030/US$. Pada minggu ini, rupiah telah kehilangan 0,92% nilainya sejak harga penutupan minggu lalu di Rp15.845/US$.
Imbal hasil obligasi pemerintah AS merangkak naik menjadi 4,39% selama lima hari berturut-turut, seiring dengan merosotnya nilai tukar rupiah. Akibatnya, selisih antara suku bunga AS dan Indonesia semakin kecil, pertanda bahwa pelaku pasar menimbun lebih banyak uang.
Tekanan pada Indeks Dolar AS (DXY) terhadap rupiah kemudian menguat, merefleksikan hal ini. Greenback menguat selama lima hari dan sekali lagi mendekati level 107.
Laporan Indeks Harga Produsen (IHP) AS yang lebih tinggi dari perkiraan pasar juga memberikan tekanan pada rupiah selain penguatan DXY. CPI AS meningkat 3% year over year (yoy) di bulan November, di atas pertumbuhan 2,6% di bulan Oktober dan perkiraan pasar sebesar 2,6%.
IHK juga tumbuh 0,4% secara bulanan (mtm), melampaui konsensus pasar sebesar 0,2% dan naik dari 0,3% di bulan sebelumnya.
Karena mengindikasikan bahwa tekanan harga dari sisi produsen di AS masih signifikan, data CPI ini memberikan tekanan kepada The Fed dan menimbulkan pertanyaan mengenai arah kebijakan suku bunganya.
Imbal hasil obligasi AS yang tinggi dapat memberikan tekanan tambahan pada dollar, membuat investor pasar mempertahankan dukungan mereka terhadap mata uang ini. Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik, kita perlu menyelidiki dinamika inflasi dan kebijakan the Fed di masa depan.
Baca Juga:PAM Jaya Kejar Target 100% Air Bersih 2030: Progres Infrastruktur Perpipaan Dikebut!OJK Tegaskan Bahaya Rekening Dormant, Perbankan Diminta Perketat Pengawasan!
Sebaliknya, terdapat stabilitas yang lebih besar pada Consumer Price Index (CPI) atau data inflasi konsumen AS selama periode waktu yang sama. IHK meningkat 2,7% dari tahun ke tahun dan 0,3% dari bulan ke bulan, seperti yang telah diantisipasi oleh pasar. Inflasi inti, yang tidak termasuk harga makanan dan energi, tetap stabil pada 3,3% dari tahun ke tahun dan 0,3% dari bulan ke bulan.