Banjir Lagi, Bantuan Lagi, Lalu Lupa Lagi?

Banjir
Banjir di Kabupaten Bekasi
0 Komentar

BEKASI, KBEonline.id – Hujan turun deras sejak dini hari, mengetuk genting rumah-rumah di Kabupaten Bekasi tanpa henti. Bagi sebagian orang, hujan adalah berkah. Namun, bagi warga Bekasi, terutama mereka yang tinggal di daerah rawan, hujan deras adalah pertanda bahaya.

Saat subuh tiba, air mulai merayap masuk ke rumah-rumah. Di Perumahan Villa Gading Harapan (VGH) 2, Dedi (45) terbangun karena kaki kasurnya sudah terendam air. Ia bergegas membangunkan istri dan kedua anaknya.

“Bangun! Airnya masuk!” serunya panik.

Dengan sigap, mereka mengangkat barang-barang yang masih bisa diselamatkan ke tempat lebih tinggi. Lemari pakaian dipindah, alat elektronik diangkat ke meja, sementara karpet dan kasur mulai basah tak tertolong.

Baca Juga:Camat Desak Developer The Arthera Hill 2 Hentikan Pembangunan Unit BaruSeparuh Bekasi Terendam, 61 Ribu Jiwa Terdampak, Pemkab Tetapkan Status Tanggap Darurat

Di Cikarang Timur, cerita yang sama terjadi. Wati (38) dan tetangganya sibuk mengevakuasi anak-anak mereka ke masjid terdekat yang masih aman dari genangan. Jalanan sudah berubah menjadi sungai dadakan, sepeda motor banyak yang tumbang, terseret arus kecil yang semakin deras.

“Kami sudah biasa kebanjiran, tapi kali ini lebih parah,” kata Wati, sembari menggendong anak bungsunya yang terus menangis ketakutan.

Di beberapa titik, warga mulai berkumpul, berharap bantuan segera datang. Namun, seperti tahun-tahun sebelumnya, yang datang lebih dulu justru lelah dan rasa pasrah.

“Kenapa Banjir Terus?”

Di posko darurat, seorang warga mengutarakan kekesalannya. “Setiap tahun kita kena banjir. Dulu masih ada lahan kosong buat serapan air, sekarang sudah jadi pabrik, jadi perumahan. Mau sampai kapan begini?”

Banjir di Bekasi bukan lagi cerita baru. Setiap kali hujan deras mengguyur lebih dari beberapa jam, air meluap, merendam rumah, sekolah, dan pasar. Drainase yang buruk, alih fungsi lahan tanpa kontrol, serta kurangnya perhatian terhadap lingkungan menjadi penyebab utama.

Beberapa warga menyebut, mereka sudah sering mengajukan keluhan ke pemerintah daerah. Tapi solusi yang ditawarkan sering kali hanya bersifat sementara—normalisasi sungai seadanya, pengerukan drainase yang tak bertahan lama. Sementara pembangunan terus berlanjut, menghilangkan ruang hijau yang seharusnya menjadi area resapan air.

“Kami butuh solusi, bukan hanya bantuan sembako saat banjir datang,” kata Dedi dengan nada getir.

0 Komentar