KBEonline.id – Keputusan Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang hanya menuntut terdakwa Rickie Ferdinansyah selama 6 bulan penjara dalam kasus penipuan senilai Rp1,8 miliar menuai kritik tajam dari kalangan ahli dan praktisi hukum.
Tuntutan tersebut dinilai terlalu ringan dan jauh dari rasa keadilan masyarakat, terutama bagi korban.
Rickie Ferdinansyah, yang mengaku sebagai advokat, diseret ke meja hijau dalam perkara No 126/Pid.B/2025/PN Ckr karena menipu korbannya, Luky Hermawan, dengan dalih bisa menyelesaikan berbagai masalah hukum.
Baca Juga:Belanja Skincare dan Vitamin Sekarang Lebih Mudah dan Lengkap di Boots Grand Outlet Karawang!Alhamdulillah, MTQ Kecamatan Cikarang Kembali Digelar, Diikuti Kafilah dari 7 Desa
Terdakwa menggunakan nama kantor hukum AR LAW FIRM secara ilegal, padahal berdasarkan surat resmi dari DPN Peradi, Rickie bukan merupakan advokat terdaftar.
Tindakan terdakwa menyebabkan kerugian hingga Rp1,85 miliar, namun dalam sidang di Pengadilan Negeri Cikarang pada 3 Juli 2025 lalu, jaksa Mylandi Susana hanya menuntut hukuman 6 bulan penjara, membuat publik bertanya-tanya.
Pakar Hukum: Tuntutan Ini Mengkhianati Rasa Keadilan
Dr. Heri Gunawan, ahli hukum pidana dan dosen Fakultas Hukum Unikom Bandung, dalam wawancaranya pada Selasa (8/7/2025), menyatakan keheranannya terhadap tuntutan yang terlalu rendah itu.
“Secara normatif memang pasal 378 KUHP ancamannya maksimal 4 tahun. Tapi dengan kerugian sebesar itu, tanpa pengembalian, tuntutan 6 bulan terasa tak adil bagi korban. Itu hak jaksa, tapi rasa keadilan publik jadi pertaruhannya,” tegas Heri.
Ia juga menambahkan, hakim tidak harus terikat dengan tuntutan jaksa dan bisa memberikan vonis lebih tinggi hingga maksimal 4 tahun. Namun, jika vonis mengikuti tuntutan rendah tersebut, hal itu akan menjadi preseden buruk dalam sistem peradilan pidana Indonesia.
“Bisa jadi nanti orang berpikir: nipu Rp1,8 miliar, hukumannya cuma enam bulan. Ini tak memberikan efek jera,” tambahnya.
Praktisi Hukum: Bisa Timbulkan Persepsi Buruk di Masyarakat
Pendapat senada juga datang dari praktisi hukum Gregorius Septhian Ustoda Inong. Ia mengingatkan bahwa meski jaksa punya diskresi, publik tetap berhak menilai apakah keadilan ditegakkan secara utuh.
Baca Juga:Banjir di Kabupaten Bekasi Makin Meluas, Pemkab Kewalahan Banyak Pengungsi Belum TertampungPemerintah Desa Karangraharja Cikarang Utara Dirikan Dapur Umum untuk Warga Terdampak Banjir
“Dari kacamata korban dan publik, ini pasti dianggap tidak adil. Harusnya ada pertimbangan kerugian besar dan pertemuan yang berkali-kali antara korban dan terdakwa. Tapi kembali lagi, kewenangan ada pada jaksa, dan hakim nanti punya ruang penilaian tersendiri,” jelas Gregorius.