kbeonline.id – Direktur Akademi Persis Solo, Rasiman, melontarkan kritik tajam terhadap kebijakan pemain U-23 yang diterapkan di BRI Super League 2025-2026.
Operator kompetisi, I.League, mewajibkan setiap klub mendaftarkan lima pemain kelahiran 2003, dengan minimal satu pemain tampil sebagai starter dan bermain setidaknya 45 menit di setiap pertandingan.
Menurut Rasiman, kebijakan ini bertentangan dengan prinsip profesionalisme dan justru berpotensi merugikan kualitas kompetisi.
Baca Juga:Persib Bandung Awali Super League 2025-2026 dengan Kemenangan MeyakinkanBungkam Kritikus! Hendri Susilo Antar Malut United Menang 3-1 atas Dewa United
“Pemain muda seharusnya berkembang lewat sistem pembinaan yang baik, bukan lewat aturan yang memaksa,” tegasnya, Minggu (10/8/2025).
Rasiman menilai aturan kuota wajib main pemain muda bisa menurunkan standar penilaian AFC terhadap kompetisi di Indonesia.
Ia berpendapat, jika PSSI serius mengembangkan talenta muda, solusinya bukan memaksa mereka bermain, melainkan mengurangi kuota pemain asing.
“Kalau mau mengembangkan pemain muda, kurangi saja jatah pemain asing. Minimal tujuh pemain lokal dalam skuad. Kalau memang siap, mereka akan bermain tanpa aturan seperti ini,” ujarnya.
Musim ini, Super League mengizinkan klub mendaftarkan hingga 11 pemain asing, dengan tujuh pemain bisa tampil di lapangan dan sembilan nama masuk daftar susunan pemain.
Bagi Rasiman, kebijakan ini berpotensi menghambat perkembangan pemain lokal.
“Jumlah banyak tidak masalah kalau kualitasnya bagus. Dulu, saat hanya tiga pemain asing, kualitasnya tinggi karena klub membeli yang terbaik. Sekarang harga murah dan kualitas biasa-biasa saja, ini kemunduran,” katanya.
Rasiman menyoroti bahwa tujuan akhir kompetisi domestik adalah memperkuat Timnas Indonesia.
Baca Juga:Profil Klub Super League 2025-2026: Bali United, Target Puncak Super LeagueDebut Sulit Rafael Struick di Dewa United, Riekerink Angkat Bicara
Namun, menurutnya, arah kebijakan saat ini tidak berpihak pada pengembangan pemain lokal yang berpotensi menjadi tulang punggung tim nasional.
“Kalau pemain asing terlalu banyak, sulit bagi pemain lokal untuk masuk starting eleven dan bermain rutin. Ini bukan soal klub saja, tapi juga negara,” paparnya.
Ia juga menyinggung persoalan mentalitas sebagian pihak di Indonesia yang cenderung menganggap pemain asing lebih baik daripada pemain lokal.
“Ini masalah bangsa, bukan hanya sepak bola. Budaya kita masih inferior terhadap orang asing,” pungkasnya.