“Enggak terlalu dalam, rata-rata satu meter, kalau air naik, kadang empat meter. Sekali turun bisa dapat tiga sampai empat kubik. Sebelum perahu tenggelam oleh beban, kami terus angkut. Itu sudah jadi kerjaan sehari-hari. Saya ikut jadi kuli angkut karang, dari masih kecil. Keluarga saya kurang mampu, apa saja asal jadi uang,” tambah Nanang, sedikit tertawa.
Nanang sendiri sempat merasakan kerasnya teknologi seadanya. Kompresor tambal ban, dengan selang panjang dan corong mulut, dipakai untuk menyelam, mengganti tabung oksigen. “Itu susah dipakai. Kalau tekanannya kurang, kita bisa kehabisan napas. Saya paling berani empat meter, kuping sakit. Tapi ada yang sampai puluhan meter. Banyak yang pingsan, ada yang kram hingga meninggal,” ujarnya.
Seiring waktu, lanjut Nanang bercerita, kabar lain datang entah dari mana. Bukan hanya untuk karang, kompresor itu membuka jalan pada pola baru, perburuan harta karun. Seperti api kecil di malam gelap, berita tentang peti koin, fragmen keramik, dan emas yang ditemukan di dasar laut saat berburu karang, menyebar dengan cepat. Tangkolak mendadak dikenal sebagai kuburan kapal, tiba-tiba jadi magnet. Pemburu harta karun berdatangan dari berbagai daerah, menempuh perjalanan puluhan hingga ratusan kilometer mencari titik-titik Benda Muatan Kapal Tenggelam (BMKT).
Baca Juga:Doni Romdhoni Pimpin PRIMA DMI Jawa Barat 2025–2029, Usung Visi Generasi Qur’ani yang Kreatif & Berdaya SaingDPRD: RSUD Rengasdengklok Kado Spesial HUT Karawang Buat Masyarakat
“Mereka juga sama, pakai kompresor angin. Bisa menyelam hingga puluhan meter. Warga ikutan berburu juga, tapi jaraknya jauh, di tengah,” terang Nanang sembari menunjuk ke arah laut. “Pemburu harta biasanya berkelompok di satu kapal. Bisa lima orang, atau empat orang, menyelam seharian sampai malam,” tambah Nanang.
Beberapa nelayan, Nanang mengerutkan mata, pulang membawa karung goni basah. Saat diturunkan di pasir pantai, terdengar suara logam beradu dari dalamnya, bercampur dengan desir angin laut. Lampu petromaks yang digantung di tiang bambu bergerak-gerak diterpa angin, cahayanya memantul pada wajah para lelaki yang setengah percaya, setengah takut.
Nanang terdiam sebentar, lalu menambahkan dengan suara yang lebih rendah. “Dulu itu ada yang laku sampai miliaran. Guci, tempat buah, emas dan semua yang masih utuh, hampir satu mobil barangnya. Kalau yang retak atau pecah, harganya murah. Orang sini yang nemu biasanya langsung jual ke pengepul. Tinggal bilang, saya mau jual barang-barang ini. Ada yang diangkut pakai karung. Ada juga yang cuma dibawa seadanya dari dasar laut.”