Rangkaian temuan itu seakan menjadi penanda bisu bahwa jalur laut utara Jawa, termasuk Karawang, bukan hanya lintasan perdagangan internasional, tetapi juga kuburan bagi kapal-kapal yang tak pernah sampai ke pelabuhan tujuan.
Sejarah maritim itu makin pekat jika disandingkan dengan catatan geologi. Pada 1862, Karawang diguncang gempa besar yang meninggalkan kerusakan luas. Peristiwa itu kembali diingatkan oleh Direktur Gempa Bumi dan Tsunami Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), Dr. Daryono, dalam unggahan resminya pada 24 Agustus 2025.
“Berdasarkan kajian BMKG, gempa ini diperkirakan memiliki magnitudo sekitar M5,8. Kejadian tersebut diduga kuat dipicu oleh aktivitas Sesar Baribis—kini dikenal sebagai Sesar Naik Busur Belakang Jawa Barat (West Java Arc Thrust),” tulis Daryono. Unggahan itu muncul setelah rangkaian gempa kembali terasa di Karawang beberapa hari sebelumnya.
Baca Juga:Doni Romdhoni Pimpin PRIMA DMI Jawa Barat 2025–2029, Usung Visi Generasi Qur’ani yang Kreatif & Berdaya SaingDPRD: RSUD Rengasdengklok Kado Spesial HUT Karawang Buat Masyarakat
Dengan demikian, lautan Karawang bukan sekadar ruang ekonomi bagi nelayan. Ia juga hamparan rapuh yang menyimpan pusara kapal dari jalur maut, jejak pelabuhan kuno, sekaligus panggung alam yang mudah berguncang. Ombak, arus, dan sesar bumi seakan bersekongkol menelan kapal, muatan, bahkan nyawa manusia. Tertinggal luka yang kini masih bisa disentuh lewat pecahan keramik, potongan kayu, dan bisik ombak yang terus berulang.
Namun, bagi warga Tangkolak, bahaya itu tak hanya lahir dari sejarah dan geologi. Ada lapisan lain yang tak kasatmata. Di sana, tepat di laut yang sama, terjaga keyakinan lama bahwa perairan Tangkolak adalah gerbang menuju kerajaan gaib. Sebuah gugusan karang yang menyerupai sosok anjing duduk dipercaya sebagai pintu, dan hanya bisa dilintasi dengan tata krama. “Kalau melewati kami selalu ucap sopan, memohon izin, karena kan kita numpang usaha,” ujar Nanang.
Kepercayaan ini tetap hidup hingga hari ini. Setiap malam Jumat Kliwon, nelayan yang melaut akan menyimpan sesaji di sisi bagan yang menghadap darat. Dalam tuturan orang tua Nanang, tersimpan kisah tentang sosok penunggu bertubuh tinggi besar, menyerupai genderuwo, yang datang hanya untuk mencium aroma sesaji, tak pernah memakannya.