Paranje, Laut, dan Kesempatan Kedua

Dongeng Laut Tangkolak dari Almarhum Kakek -Wahyudi/Karawang Bekasi Ekspres
Dongeng Laut Tangkolak dari Almarhum Kakek -Wahyudi/Karawang Bekasi Ekspres
0 Komentar

Kami Berbenah dan Berubah

Dulu, kampung kami kumuh, penuh sampah, dan jalanan becek. Kini, perlahan wajah itu berubah.

Snorkeling menjadi aktivitas baru, wisatawan datang melihat bangkai kapal atau menikmati enam titik selam: Karang Sedulang Besar, Karang Sedulang Kecil, Pulau Pasir, Karang Kapal, Karang Bui, hingga spot bangkai kapal 30 km dari pantai.

Pemerintah desa pun menjadikan pertanian, perikanan, dan pariwisata mangrove sebagai program unggulan.

Baca Juga:Pekerja Terlantar, Oknum DPRD Disebut Direksi LPK Penunggak BPJSDPRD Bekasi Harap Pj Sekda Perkuat Komunikasi dan Perencanaan Anggaran

Penjabat kepala desa kami yang sekarang, Pak Nurhasan, pernah berkata, “Dulu ada yang merusak, sekarang justru jadi pelestari. Ini bukan proyek, tapi gerakan perbaikan masa depan.”

Saya melihatnya nyata: anak-anak kini tahu karang adalah makhluk hidup, bukan batu mati. Mereka belajar sejak dini bahwa laut adalah titipan, bukan warisan untuk dihabiskan.

Filosofi Waktu dan Kesempatan Kedua

Karang tumbuh milimeter demi milimeter, sama seperti kesadaran manusia. Butuh waktu panjang, kesabaran, dan cinta.

General Manager PHE ONWJ, Muzwir Wiratama pernah bilang bahwa program paranje ini bukan sekedar gerakan seremonial.

“Kami ingin masyarakat mandiri menjaga dan melanjutkan,” katanya.

Itulah pesan laut kami: manusia bisa saja salah, tapi juga bisa belajar. Kerusakan bukan akhir, melainkan titik balik.

Tangkolak kini menjadi cermin, bahwa di dasar laut keruh sekalipun, kehidupan bisa lahir kembali—jika ada kesungguhan, kolaborasi, dan cinta.

Dan saya, sebagai anak Tangkolak, percaya: laut tak pernah menyerah memberi kehidupan. Tugas kamilah untuk menjaga. (*)

0 Komentar