BEKASI, KBEonline.id – Di atas kertas, Kabupaten Bekasi adalah salah satu daerah dengan potensi ekonomi terbesar di Jawa Barat bahkan Indonesia. Dengan jumlah penduduk hampir 3,9 juta jiwa, wilayah ini menjadi rumah bagi ribuan perusahaan nasional dan multinasional yang menopang denyut industri. Namun, potensi itu tidak sepenuhnya tercermin dalam kesejahteraan rakyat.
Di tengah situasi sosial-ekonomi yang masih penuh persoalan, lahirlah Peraturan Bupati (Perbup) Nomor 11 Tahun 2024. Aturan ini mengatur hak keuangan anggota DPRD, termasuk tunjangan perumahan dan transportasi. Alih-alih mendapat apresiasi, regulasi tersebut justru memicu polemik.
Secara faktual, Bekasi memiliki sumber daya ekonomi melimpah. Namun, masyarakat masih berkutat dengan isu-isu mendasar: pengangguran, minimnya fasilitas sekolah, akses kesehatan yang sulit, hingga pencemaran lingkungan yang memicu banjir.
Baca Juga:Kumpulan Kode Redeem Free Fire Terbaru Hari Ini 16 September 2025, Klaim Hadiah Skin hingga Diamond Gratis!Semesta Buku Hadir di Bekasi: Dapatkan Diskon Hingga 75% dan Harga Mulai Rp5,000
“Bekasi ini pusat industri, tapi rakyatnya masih kesulitan untuk mendapat pendidikan layak, layanan kesehatan memadai, dan lingkungan yang bersih. Sementara DPRD masih menerima tunjangan besar,” tegas Koordinator Badan Parlemen Pemuda dan Mahasiswa, Jaelani Nurseha, kepada Cikarang Ekspres, Senin (16/9).
Analisis Badan Parlemen Pemuda dan Mahasiswa menemukan bahwa Perbup No. 11 Tahun 2024 yang disahkan pada 26 Maret 2024 bukanlah kebijakan baru, melainkan revisi dari Perbup No. 63 Tahun 2019. Bahkan, jika dibandingkan dengan Perbup No. 19 Tahun 2022, aturan terbaru ini justru memangkas besaran tunjangan DPRD.
Namun, pemangkasan itu tidak serta merta meredam kritik. “Besaran tunjangan setelah dipangkas pun tetap terlalu besar jika dibandingkan dengan kondisi masyarakat. Ini menunjukkan adanya ketimpangan dalam prioritas anggaran,” ujar Jaelani.
Kritik mahasiswa menyoroti bahwa polemik tunjangan ini mencerminkan praktik budgetary politics di mana elite legislatif dan eksekutif cenderung mengamankan kepentingan mereka sendiri melalui alokasi anggaran. Akibatnya, ada ketidakseimbangan dalam proses penganggaran yang berujung pada kerugian publik.
“Meski sebagian kritik publik terhadap Perbup ini berangkat dari data yang keliru, substansi kritiknya tetap relevan. DPRD harus hadir langsung di lapangan, melihat kondisi rakyat, bukan sekadar duduk menerima tunjangan,” tambah Jaelani.
Kritik ini memperlihatkan adanya krisis kepercayaan terhadap pemerintah daerah. Di saat anggaran untuk fasilitas sekolah, layanan kesehatan, dan penanganan lingkungan hidup masih minim, tunjangan DPRD tetap berjalan dengan angka yang dianggap fantastis.