Aksi demonstrasi yang terjadi adalah akumulasi kemarahan Rakyat terhadap kebijakan dan kinerja Penyelenggara Negara yang tidak pernah memihak kepada Rakyat yang memberi mandat.
Sampai dengan hari ini Presiden dan DPR RI gagal menjawab akar masalah yang menyebabkan Rakyat putus asa dan marah.
Gelombang kemarahan Rakyat, utamanya dari pedesaan disebabkan oleh persoalan mendasar, yaitu ketimpangan penguasaan tanah dan sumber-sumber produksi yang dikuasai oleh segelintir kelompok elit ekonomi dan politik.
Baca Juga:Perkuat Komitmen di Dunia Vokasi, Honda Kembali Resmikan Pos AHASS TEFA di SMK Rosma Karawang7 Taman Keren di Karawang, Cocok untuk Liburan Asyik Keluarga dan Pacar
Ketimpangan tersebut telah menciptakan kesenjangan sosial-ekonomi yang semakin melebar antara Rakyat kecil yang miskin dengan sekelompok orang super kaya dan bahkan yang menguasai politik di Indonesia.
Di saat kehidupan Rakyat yang semakin miskin akibat kehilangan tanah, kehilangan lapangan kerja oleh PHK massal, rakyat masih saja diperas dengan pajak yang mencekik, pencabutan subsidi dan naiknya harga kebutuhan dasar.
Di tengah kepahitan ini, rakyat dipertontonkan dagelan elit politik dan orang super kaya di Indonesia yang terus saja melahirkan kebijakan-kebijakan yang menguntungkan kehidupan pribadi dan kelompok, tanpa peduli kepentingan Rakyat secara luas.
Pada Peringatan Hari Tani Nasional 2025 ini, KPA menyampaikan 24 Masalah Struktural Agraria yang terjadi di pedesaan dan perkotaan.
Masalah yang nyata dimana rakyat kita setiap hari dijarah kekayaannya. Pemerintah harus sadar, bahwa sesungguhnya rakyat miskinlah yang setiap hari dijarah, dan penjarahan ini tidak pernah berhenti.
Setidaknya ada 24 masalah agraria kita, akibat penjarahan kekayaan rakyat tersebut, yaitu:
Pertama, ketimpangan penguasaan tanah semakin parah. Indeks ketimpangan penguasaan tanah mencapai 0,58 (BPN, 2022).
Baca Juga:Pelayanan Kesehatan Investasi Paling Strategis di Dunia: CEO KFSHRC Menyerukan Kolaborasi Global di KTT JepangIronis, Jabar Terancam Darurat Sampah, Anak Buah KDM Mangkir dalam Rapat Komisi I DPRD
Artinya 1% kelompok orang menguasai 58% tanah dan kekayaan agraria nasional, sementara 99% rakyat Indonesia menempati dan memperebutkan sisanya. Bahkan Kementerian ATR/BPN menyatakan bahwa ada 60 keluarga pengusaha yang menguasai 26,8 juta hektar tanah.
Ini adalah ketimpangan struktural yang tragis dan tengah dihadapi Bangsa Indonesia. Tapi seberapapun tragis kenyataan yang disampaikan oleh menteri, bahkan Presiden Prabowo juga selalu menegaskan pentingnya pelaksanaan Pasal 33 UUD 1945, nyatanya ketimpangan ini tidak ada satupun upaya untuk menyelesaikan.
Kedua, pengusiran warga desa dari tanah garapan, pemukiman dan kampungnya. Kasus warga desa di Kabupaten Bogor yang tanahnya dilelang, atau warga satu desa diusir, karena masuk dalam kawasan hutan dan ditakut-takuti oleh plang-plang Satgas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH) seperti di Tebo adalah contoh bagaimana pengusiran rakyat terus terjadi dari tanah garapan dan pemukimannya. Saat ini, terdapat 25 ribu desa yang tumpang tindih dengan klaim kawasan hutan, bahkan ribuan desa lainnya masuk ke dalam HGU.