Seluruh Menteri/Kepala Badan selalu menghindari tanggungjawab penyelesaian konflik agraria. Hal ini sengaja dilakukan karena mereka sendirilah yang terlibat dan menyebabkan jutaan Petani, Nelayan, Masyarakat Adat dan Perempuan kehilangan tanahnya, serta enggan menggangu para pengusaha dan bisnisnya.
Keenam, janji palsu Reforma Agraria. Saat ini memang terdapat Tim Percepatan Reforma Agraria Nasional (TPRAN) dan Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA), yang diisi oleh menteri-menteri terkait ekonomi, agraria, kehutanan, pertanian dan pemda.
Namun mereka tidak menjalankan reforma agraria, sebab bukan koreksi ketimpangan yang dikerjakan, bukan kasus-kasus konflik agraria struktural yang diselesaikan, bukan penertiban tanah terlantar bagi obyek Reforma Agraria yang didesakan, bukan mengeluarkan desa-desa dan tanah pertanian serta lumbung pangan dari klaim-klaim kehutanan dan perkebunan, bukan pula mengatasi guremisasi petani. Sehingga wajar belum ada satu pun SK penetapan obyek dan subyek Reforma Agraria yang diterbitkan TPRAN/GTRA.
Baca Juga:Perkuat Komitmen di Dunia Vokasi, Honda Kembali Resmikan Pos AHASS TEFA di SMK Rosma Karawang7 Taman Keren di Karawang, Cocok untuk Liburan Asyik Keluarga dan Pacar
Ketujuh, tidak ada redistribusi tanah. Setahun pemerintahan Prabowo, tidak ada redistribusi tanah dan penyelesaian konflik agraria struktural.
Seperti mengulang pemerintahan Jokowi dengan janji redistribusi tanah seluas 9 juta hektar namun tidak konsisten dijalankan. Bahkan disesatkan menjadi sertifikasi tanah biasa.
Lokasi Prioritas Reforma Agraria (LPRA) KPA seluas 1,7 juta hektar telah diserahkan kepada Menteri Kehutanan, Menteri ATR/BPN, Menteri Desa, Menteri Koperasi dan Kepala BP Taskin untuk segera diselesaikan dan diredistribusikan kepada rakyat.
Meski pemerintah sudah ditolong para petani, LPRA yang diusulkan petani dan masyarakat adat tidak pernah ditetapkan sebagai sasaran pelaksanaan reforma agraria.
Masalah ini harus dihentikan dan Presiden Prabowo harus berani mengambil alih tanah-tanah yang dimonopoli oleh segelintir pengusaha sawit, hutan dan tambang untuk diredistribusikan kepada Petani, Buruh Tani, Nelayan, Masyarakat Adat dan Perempuan.
Kedelapan, petani makin miskin, gurem dan tak bertanah. Dalam 12 tahun terakhir petani gurem bertambah sebanyak 3 juta orang. Pada 2013 sebanyak 14 juta petani gurem, pada 2023 meningkat menjadi 17 juta orang.
Artinya dari keseluruhan petani di Indonesia, 62% diantaranya adalah petani gurem. Selain guremisasi, masalah lain yang memperparah kemiskinan struktural di pedesaan adalah kesulitan petani mendapatkan pupuk karena diwajibkan memiliki kartu tani, kartu tani pun tidak menjamin pupuk tersedia.