Dampaknya, kebijakan ini justru memperluas konflik dan praktik korupsi agraria, ketimbang menertibkan penguasaan korporasi kehutanan dan sawit.
Empat belas, membentuk banyak lembaga baru untuk mempermudah perampasan tanah. Alasan efisiensi anggaran yang dilakukan Pemerintah tidak berlaku demi kemudahan penyediaan tanah bagi pengusaha.
Buktinya kini banyak dibentuk lembaga baru untuk mendukungnya seperti Bank Tanah, Badan Otorita (Food Estate, IKN, KSPN), Satgas PKH, Dewan Nasional Kawasan Ekonomi Khusus dan masih banyak lagi yang lainnya.
Baca Juga:Perkuat Komitmen di Dunia Vokasi, Honda Kembali Resmikan Pos AHASS TEFA di SMK Rosma Karawang7 Taman Keren di Karawang, Cocok untuk Liburan Asyik Keluarga dan Pacar
Seluruhnya mengurusi bagaimana kemudahan investasi dan menjamin ketersediaan tanah bagi pengusaha, meski harus dilakukan dengan merampas tanah rakyat.
Menyedihkannya tidak ada satu pun lembaga baru yang dibentuk untuk memulihkan keadilan agraria petani, buruh tani, nelayan, masyarakat adat dan perempuan.
Lima belas, privatisasi pesisir dan pulau-pulau kecil. Pemerintah telah menjauhkan Nelayan dari cita-cita keadilan bahari. Layaknya tanah dan kekayaan alam di darat, laut, pesisir dan pulau kecil pun semakin diprivatisasi oleh pengusaha dan pemerintah.
Akibatnya para nelayan tradisional kerap menjadi korban perampasan tanah demi bisnis tambang, hutan, sawit dan energi. Pembiaran lainnya oleh pemerintah adalah ketimpangan ekonomi antara buruh kapal dengan pemodal, tanpa ada intervensi pemerintah. Mereka selalu menerima sebagian kecil hasil perikanan ketimbang para pengusaha/pemilik kapal.
Di waktu bersamaan 2,4 juta nelayan tradisional dipaksa berebut kuota penangkapan ikan dengan kapal-kapal besar dalam kebijakan perikanan terukur (BPS, 2024).
Enam belas, mempermudah perluasan tambang, korbankan rakyat. Pemerintah marak memberikan izin usaha pertambangan (IUP) dan mendorong ekspansi besar-besaran sektor ekstraktif. Sejak era otonomi daerah dan berlakunya Undang-Undang Minerba, pengusaha tambang melalui IUPnya kini menguasai 9,1 juta hektar tanah.
Akibat luasnya pemberian tanah untuk pengusaha tambang, pada tahun 2024 saja telah mengakibatkan 41 letusan konflik dengan luas 71.101 hektar dengan korban terdampak mencapai 11.153 keluarga. Jika presiden hendak mengembalikan arah politik ekonomi Indonesia kepada Pasal 33 UUD 1945, maka sesegera mungkin menghentikan pemberian IUP tambang baru.
Baca Juga:Pelayanan Kesehatan Investasi Paling Strategis di Dunia: CEO KFSHRC Menyerukan Kolaborasi Global di KTT JepangIronis, Jabar Terancam Darurat Sampah, Anak Buah KDM Mangkir dalam Rapat Komisi I DPRD
Tujuh belas, sistem pangan militeritik dan liberal. Jutaan hektar target pembangunan food estate pemerintah bersama kelompok swasta secara tidak langsung ingin mengganti petani sebagai produsen pangan yang utama dengan pengusaha dan kartel pangan.