Penyakit Miskin Warga UMR: Demi Gengsi, iPhone Dicicil, Masa Depan Dikorbankan

Marc Klok Beli iPhone 17 Pro Max
Marc Klok Beli iPhone 17 Pro Max
0 Komentar

KBEONLINE.ID – Fenomena membeli iPhone keluaran terbaru semakin menjadi tren konsumsi masyarakat urban, khususnya mereka yang berpenghasilan setara UMR. Meski harga perangkat dapat mencapai Rp 20–30 juta, antusiasme tetap tinggi. Banyak orang rela mencicil hingga 24 bulan, memanfaatkan skema paylater, kartu kredit, hingga pinjaman digital hanya demi memiliki perangkat yang dianggap sebagai simbol kelas sosial.

‎Dalam video analisis sosial-ekonomi yang kini viral, dijelaskan bahwa tren ini bukan sekadar gaya hidup, tetapi bagian dari pola konsumsi yang dipengaruhi oleh “Scarcity Mindset” — pola pikir kekurangan yang terbentuk karena tekanan ekonomi, sosial, dan pemasaran psikologis dari industri teknologi.

‎Video tersebut menyebut fenomena ini sebagai “Penyakit Miskin” — bukan karena seseorang miskin secara finansial, tetapi karena pola berpikir yang membuat masyarakat tanpa sadar masuk lingkaran hutang hanya demi terlihat naik kelas.

Baca Juga:Menanti Duet Gelandang Timnas Ivan Jenner, Thom Haye dan Marc Klok di Persib Bandung, Profil Lengkap Ivan JennBerikut 5 Alasan Ivar Jenner Dirumorkan Tertarik Bergabung ke Persib Bandung

‎Berikut penjelasan lengkap dari 8 stadium Penyakit Miskin dalam membeli iPhone:

‎1. Rabun Masa Depan

‎Pada stadium pertama, mental seseorang hanya fokus pada keselamatan jangka pendek. Otak yang kelelahan oleh tekanan ekonomi sehari-hari menjadi tidak mampu mempertimbangkan dampak jangka panjang dari keputusan finansial.

‎Konsep tabungan jangka panjang, dana pensiun, investasi, asuransi kesehatan, atau keamanan finansial terasa terlalu jauh dan “tidak relevan.” Apa yang terlihat nyata—seperti kotak iPhone baru dengan plastik yang masih tersegel—lebih menarik daripada ide abstrak seperti menabung selama setahun.

‎Di sini, reward instan menang telak atas pertimbangan logika.

‎2. Takut Dihina Circle dan Racun Gengsi Kelas Menengah

‎Pada tahap ini, keputusan membeli bukan lagi soal kebutuhan, tetapi soal status dan penerimaan sosial. Lingkungan pertemanan, kantor, bahkan pasangan, menjadi faktor penentu.

‎Kalimat seperti:

‎“Masa HP-nya Android?”

‎“Kamu kok masih iPhone 11?”

0 Komentar