Oleh: Bagong Suyanto
PENUNJUKANJenderal (pur) Fachrul Razi sebagai menteri agama dan mantan Panglima Kostrad Letjen (pur) Prabowo Subianto sebagai menteri pertahanan, tampaknya, sengaja dilakukan Presiden Jokowi dengan misi khusus. Yakni, mengikis radikalisme yang dinilai sudah makin mencemaskan.
Dewasa ini bahaya paham radikalisme benar-benar sudah tidak lagi bisa diremehkan. Paham radikalisme sudah menyebar ke banyak sendi kehidupan masyarakat. Bahkan, yang mencemaskan, sebagian anggota TNI ternyata disinyalir telah terpapar paham raadikalisme dan menolak ideologi Pancasila. Menteri pertahanan sebelumnya, Ryamizard Ryacudu, memperkirakan kurang lebih 3 persen anggota TNI telah terpapar paham radikalisme.
Sebenarnya sudah ada temuan studi sebelumnya yang menyebutkan, 23,4 persen mahasiswa dan 23,3 persen pelajar SMA setuju mengganti NKRI dengan khilafah. Ada juga data yang menunjukkan 18,1 persen pegawai swasta menyatakan tidak setuju dengan ideologi Pancasila, 19,4 persen PNS menyatakan tidak setuju dengan ideologi Pancasila, dan 19,1 persen pegawai BUMN tidak setuju dengan Pancasila.
Namun, ketika yang terpapar paham radikalisme adalah TNI, tentu akibatnya akan jauh berbeda. TNI adalah para prajurit yang seharusnya terikat sumpah Sapta Marga dan merupakan garda terdepan yang menjaga supremasi Pancasila. Berapa pun jumlah anggota TNI yang terpapar paham radikalisme, jelas hal itu adalah lampu merah yang berbahaya. Dikatakan berbahaya karena TNI adalah para prajurit yang memiliki akses pada persenjataan dan simbol penjaga keutuhan bangsa dan negara. Ketika ada TNI yang terpapar radikalisme, seberapa pun kecil dari sisi persentase, tetap akan berdampak besar bagi citra dan masa depan Indonesia.
Berbahaya
Kalau melihat angkanya, 3 persen mungkin bukan termasuk bilangan yang besar. Tetapi, kalau melihat jumlah TNI aktif saat ini sekitar 800 ribu, berarti jumlah TNI yang terpapar paham radikalisme sekitar 24 ribu orang. Jumlah itu secara absolut tentu tidak bisa dibilang kecil.
Seseorang yang terpapar paham radikalisme bukan tidak mungkin berubah menjadi lone wolf atau pelaku teror yang mengembangkan aksi-aksi perseorangan. Bisa dibayangkan, jika sekitar 24 ribu TNI aktif yang memiliki akses pada persenjataan dan menguasai teknik gerilya tiba-tiba