KARAWANG, KBEONLINE.ID — Dinas Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DPPKB) Kabupaten Karawang bersama Tim Percepatan Penurunan Stunting (TPPS) menggelar Rapat Koordinasi (Rakor) bertema “Publikasi Data Stunting Hasil Identifikasi Faktor Risiko Stunting dari Hasil SSGI Tahun 2024”, pada Kamis (23/8/2025). Kegiatan yang dihadiri berbagai unsur pemerintah daerah, camat, serta tenaga kesehatan ini digelar sebagai upaya memperkuat langkah strategis menekan angka stunting di Kabupaten Karawang.
Kepala DPPKB Karawang, Imam Bahanan, dalam sambutannya menyampaikan bahwa stunting masih menjadi masalah serius di Karawang. Berdasarkan hasil Survey Status Gizi Indonesia (SSGI) tahun 2024, prevalensi stunting di Karawang meningkat dari 17,10 persen pada 2023 menjadi 17,60 persen.
“Artinya, terjadi peningkatan sebesar 0,5 persen. Ini menjadi alarm bagi kita semua untuk memperkuat upaya pencegahan,” ujarnya.
Baca Juga:Festival Demografi 2025 Gaungkan Geografi dan Sekolah Siaga Kependudukan di Karawang Produksi Gabah Kering Giling di Purwakarta Diprediksi Meningkat Tahun Ini
Imam menjelaskan, pasca keluarnya hasil SSGI, TPPS Kabupaten bersama perwakilan TPPS Kecamatan telah melakukan rapat terbatas pada Mei 2025. Hasil rapat tersebut menyepakati perlunya identifikasi faktor risiko penyebab stunting di 10 kecamatan dengan prevalensi tertinggi, yakni Batujaya, Cikampek, Cilamaya Wetan, Jayakerta, Karawang Barat, Klari, Kotabaru, Pedes, Rengasdengklok, dan Telukjambe Timur.
“Kami ingin intervensi yang dilakukan benar-benar tepat sasaran dan sesuai dengan akar permasalahan di lapangan,” kata Imam.
Kegiatan identifikasi faktor risiko dilaksanakan pada 22 Juli hingga 21 Agustus 2025 dengan melibatkan enumerator dari Universitas Singaperbangsa Karawang (UNSIKA) jurusan Gizi. Total sebanyak 74 balita menjadi sasaran dalam kegiatan tersebut. Dari jumlah itu, 65 balita berhasil dianalisis karena sebagian lainnya menolak diukur atau telah berusia di atas lima tahun.
Asisten Daerah I Kabupaten Karawang sekaligus Ketua Harian TPPS, M. Ridwan Salam, dalam paparannya menjelaskan bahwa dari 65 balita yang dianalisis, sebanyak 58 anak masih tergolong stunting.
“Temuan ini menunjukkan bahwa sebagian besar balita di wilayah penelitian masih belum keluar dari status stunting, meskipun beberapa intervensi telah dijalankan,” ungkap Ridwan.
Lebih lanjut, TPPS mengidentifikasi sedikitnya 29 faktor risiko yang berpotensi menyebabkan stunting. Dari jumlah tersebut, terdapat 16 faktor yang paling sering dialami oleh balita, di antaranya balita tidak memiliki Kartu Indonesia Sehat (KIS) sebesar 52,31 persen, tidak rutin datang ke posyandu 61,54 persen, serta keluarga perokok mencapai 84,62 persen.