Haruskah Kita Masih Menggugat ‘Yang Lain’ dengan Kebencian Identitas?

Haruskah Kita Masih Menggugat ‘Yang Lain’ dengan Kebencian Identitas?
ADIPATI KARNA: Haruskah Kita Masih Menggugat ‘Yang Lain’ dengan Kebencian Identitas?
0 Komentar

DI  tepi Tegal Kurusetra Karna meregang nyawa. Sebelumnya ia tahu akan kalah dengan kesadaran pahit: pada akhirnya ia bukan apa-apa. Tak ada kebencian identitas.

Karna sadar diri telah bertempur dengan keberanian seorang pendekar, tapi bukan seorang dari keluarga Kurawa yang dibelanya.

Ia hanya seorang yang ketika terpojok, tak bisa membaca lengkap mantra yang mungkin akan menyelamatkannya dari panah Arjuna.

Baca Juga:Ibu- ibu Jangan Panik, Inilah Solusi Nutrisi Saat Si Kecil Alergi Susu SapiSosok Dini Sera Afrianti, Seleb Tiktok Korban Kekejaman Kekasih

Manusia selalu ada dalam kategori tertentu: ras, asal-usul, agama. Bagi gurunya identitas itu kukuh, dan harus ditegakkan.

Yang tak diketahui Guru Bargawa ialah bahwa Karna justru tak dapat digolongkan.

Kisah hidupnya kita kenal: seorang bayi hanyut di sungai, dalam sebuah kotak tak tahu dibuang dari mana dan oleh siapa.

Orang hanya bisa menduga: kotak itu dan selimut yang menutupi tubuh bayi itu, menunjukkan bukan berasal dari kaum kebanyakan.

Tapi ia akhirnya harus bernasib lain. Seorang perempuan, istri seorang sais kereta, menemukannya, menyelamatkannya, dan akhirnya mengadopsinya.

Karna tumbuh sebagai anak hingga remaja sebagai bagian dari kasta para sais.

Dalam kisah Karna, Mahabharata menampilkan sebuah sisipan tragedi: seorang telah dengan sia-sia, meskipun heroik, mencoba melawan takdir yang tak adil.

Baca Juga:AHM Ajak 4.706 Mahasiswa dari 29 Universitas Jadi Generasi Peduli KeselamatanWARNING…! Rotasi-Mutasi di Ujung Masa Jabatan Cellica Rawan Dipolitisasi

Di Kurusetra, di perang tanding dengan Arjuna itu, Karna tahu: ia kalah, ia mati, karena ia lahir dengan identitas yang tak bisa dirumuskan, tapi oleh bahasa Sang Guru, ia ditunjuk dengan pasti dan benci— dan mantra sakti itu bukan untuknya.

Di sini yang kejam bukan hanya nasib. Yang kejam adalah imperialisme pikiran ala Bargawa yang selalu ingin menaklukkan, bahkan mematikan yang lain.

”Yang-lain” harus ditransformasikan ke dalam desainku yang satu. ”Yang-lain” harus diubah sebagai, atau ke dalam, sesuatu yang sama.
Dan Karna mati. Ia adalah ”yang lain”, yang di luar kasta dan kaum.

Ia bukan ksatria, bukan pula brahmana atau sudra; ia bukan Kurawa, bukan pula Pandawa.

0 Komentar