100 Tahun Bendung Walahar: Nadi Irigasi yang Menjadikan Karawang Lumbung Padi

Ilustrasi Bendung Walahar Kabupaten Karawang Barat.
Bendung Walahar tetap berdiri kokoh sebagai simbol kejayaan irigasi Karawang yang telah menghidupi ribuan hektare sawah selama satu abad terakhir. (foto: wiki)
0 Komentar

KARAWANG, KBEonline.id – Di tengah pesatnya arus modernisasi, Bendung Walahar tetap berdiri kokoh sebagai simbol kejayaan irigasi Karawang yang telah menghidupi ribuan hektare sawah selama satu abad terakhir.

Dibangun pada masa kolonial Belanda dan mulai beroperasi pada 30 November 1925, bendung ini menjadi tonggak penting dalam transformasi wilayah Karawang utara dari lahan hujan menjadi sentra pertanian produktif.

Sebelum kehadiran bendung ini, sebagian besar wilayah Karawang masih bergantung pada curah hujan musiman. Hutan dataran rendah dan kebun tradisional mendominasi lanskap, sementara area timur dan utara dikelilingi oleh hutan mangrove yang menjadi habitat alami berbagai flora dan fauna.

Baca Juga:IPKB Karawang Gandeng Universitas Sehati Indonesia Tekan Angka Stunting Lewat Seminar dan EdukasiHendak Berangkat ke Sekolah, Kakak Beradik Tewas Terlindas Truk di Jalan Kosambi-Curug, Begini Kronologinya

“Bendung Walahar bukan hanya konstruksi teknik, tapi tonggak sejarah yang membentuk identitas agraris Karawang. Pembangunannya menandai dimulainya pengelolaan air yang sistematis dan berkelanjutan,” ungkap Obar Subarja, Ketua Tim Ahli Cagar Budaya Kabupaten Karawang.

Terletak di Desa Walahar, Kecamatan Klari, bendung ini memiliki fungsi vital sebagai penampung dan pengatur aliran air, khususnya untuk mengairi lahan pertanian di wilayah utara Karawang. Air dari bendung dialirkan ke berbagai saluran irigasi, termasuk Saluran Induk Tarum Utara yang kemudian diteruskan ke Bendung Bangunan Bagi Utama (BBU) Leuweung Seureuh.

Menurut Obar, BBU Leuweung Seureuh yang terletak di Desa Bengle, Kecamatan Majalaya, dibangun dan mulai beroperasi bersamaan dengan Bendung Walahar.

“Ada indikasi kuat bahwa keduanya dirancang sebagai satu sistem. Ini menunjukkan betapa seriusnya upaya kolonial dalam membangun infrastruktur pertanian,” ujarnya.

BBU Leuweung Seureuh menjadi pusat distribusi air ke lima saluran utama, yakni Tarum Utara Cabang Timur, Tarum Utara Cabang Barat, Saluran Sekunder Bengle, Saluran Sekunder Majalaya, dan Saluran Pembuang Ciwadas. Selain itu, terdapat juga dua saluran suplesi, yakni Kamojing dan Ciwadas.

Saluran Induk Tarum Utara Cabang Timur menjadi tulang punggung irigasi dengan cakupan area seluas 32.097 hektar, melintasi kecamatan-kecamatan seperti Telagasari, Tempuran, dan Cilamaya. Sementara itu, Tarum Utara Cabang Barat mencakup 44.472 hektar di wilayah Rengasdengklok, Batujaya, dan Pedes.

“Di sepanjang saluran-saluran ini kita masih bisa menemukan dam-dam pembagi peninggalan kolonial seperti Dam Palawad dan Dam Ciranggon. Ini bukti fisik bahwa sistem irigasi yang ada telah lama menopang kehidupan warga,” tutur Obar.

0 Komentar