Sandarkan Hidup Pada Tumpukan Sampah

Sandarkan Hidup Pada Tumpukan Sampah
0 Komentar

Kisah Pilu Keluarga Pemulung Tak Dapat Bansos Covid-19

Di timur ibu kota DKI Jakarta—Kota Bekasi dikenal menjadi kawasan terbesar pengolahan dan pembuangan sampah. Di sana, tak terhitung berapa kepala manusia yang menyambung hidup dari gundukan sampah.

ARIF NALDHY, Kota Bekasi

NINGSIH (37) bersama sang suami bernama Rohmat (40) sudah 10 tahun hidup dikelilingi oleh sampah. Yang menglilinginya itu pula yang menjadi sumber penghidupan keluargaanya. Rohmat sang suami adalah satu darisekian pemulung yang setiap hari mencari sampah-sampah ekonomis untuk dijual kembali ke pengepul. Dari sampah yang ia kumpulkan setiap hari dia menghidupi Ningsi dan tiga anak mereka: Naman (18), Alfia (10) dan si bungsu Nazwa (3). “Sudah 10 tahun lebih saya tinggal di sini, sudah biasa seperti ini,” kata Ningsih yang matanya menyorot tumpukan sampah di sekitar dia, kemarin (23/6). Bau yang setiap hari dicium sudah bukan menjadi alasan mengeluh. Sejak 10 tahun lalu memutuskan tinggal di sana, ia sudah menginsyafi—hidungnya akan akrab dengan segala penciuman yang bagi sebagian orang menjengkelkan: bau tak sedap sampah. “Kalau makan ya seada-adanya saja, ya yang penting bisa makan tidak kelaparan,” imbuhnya

Biasanya sang suami bisa membawa uang tak kurang dari Rp 80 ribu per hari. Ia rasa sudah cukup untuk menyambung hidup besok hari untuk dia dan ketiga anaknya. Jika pun tak cukup, ia cukup-cukupkan.
Namun, pandemi covid-19 yang per kemarin sudah hampir menularkan ke 50 ribu jiwa di Indonesia tak hanya membuat loyo-koplo pemain bisnis besar—juga buruh yang diperkjakannya. Tapi juga pemulung di sini. Di timur ibu kota negara.
Serangan pandemi mengobrak-abrik harga jual rongsokan atau sampah yang punya nilai jual. Plastik—botol mineral yang bioasanya bisa dijual seribu rupaih per kilo. Sekrang hanya laku lima ratus perak saja.
“Sehari suami saya itu bawa pulang uang Rp 80 ribu, tapi sekarang penghasilan berkurang, kerja nyari rongsok bawa uang paling Rp 40 ribu, karena harganya sekarang turun,” ungkap Ningsih.
Ningsih pun bercerita, selama pandemi menjalar di Kota Bekasi, tidak ada satu pun bantuan dari pemerintah yang tiba di gubuknya. Ribut-ribut tidak tepat sasaran di wilayah lain soal bansos, kata dia, tak terjadi di wilayah gubuk pemulung. Karena memang semuanya tak dapat bantuan.

0 Komentar